Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini - Berdasarkan pendapat para ahli, terdapat sejumlah karakteristik perkembangan pada anak usia dini. Karakteristik yang akan diuraikan berikut meliputi; Perkembangan Fisik-Motorik, Kognitif, Sosio Emosional, dan Perkembangan Bahasa. (Baca pula: Definisi dan Aspek-aspek Perkembangan Anak Usia Dini)
1. Perkembangan Fisik-Motorik
Pertumbuhan fisik pada setiap anak tidak selalu sama. Ada yang mengalami pertumbuhan secara cepat, ada pula yang lambat. Pada masa kanak-kanak pertambahan tinggi dan pertambahan berat badan relatif seimbang. Perkembangan motorik anak terdiri dari dua, ada yang kasar dan ada yang halus (John W. Santrock, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Jakarta: Erlangga, 1995, h. 225)
Perkembangan motorik kasar seorang anak pada usia 3 tahun adalah melakukan gerakan sederhana seperti berjingkrak, melompat, berlari ke sana ke mari dan ini menunjukkan kebanggaan dan prestasi. Sedangkan usia 4 tahun, si anak tetap melakukan gerakan yang sama, tetapi sudah berani mengambil resiko seperti jika si anak dapat naik tangga dengan satu kaki lalu dapat turun dengan cara yang sama dan memperhatikan waktupada setiap langkah. Lalu, pada usia 5 tahun si anak lebih percaya diri dengan mencoba untuk berlomba dengan teman sebayanya atau orang tuanya.
Sebagian ahli menilai bahwa usia 3 tahun adalah usia bagi anak dengan tingkat aktivitas tertinggi dari seluruh masa hidup manusia. Sebab tingkat aktivitas yang tinggi dan perkembangan otot besar mereka (lengan dan kaki) maka anak-anak pra sekolah perlu olah raga seharĂ-hari. Adapun perkembangan keterampilan motorik halus dapat dilihat pada usia 3 tahun yakni kemampuan anak-anak masih terkait dengan kemampuan bayi untuk menempatkan dan memegang benda-benda. Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak-anak telah semakin meningkat dan menjadi lebih tepat seperti bermain balok, kadang sulit menyusun balok sampai tinggi sebab khawatir tidak akan sempurna susunannya.
Sedangkan pada usia 5 tahun, mereka sudah memiliki koordinasi mata yang bagus dengan memadukan tangan, lengan, dan anggota tubuh lainnya untuk bergerak.Hal ini tidak terlepas dari ciri anak yang selalu bergerak dan selalu ingin bermain sebab dunia mereka adalah dunia bermain dan merupakan proses belajar. Mulai sejak si anak membuka mata di waktu pagi sampai menutup mata kembali di waktu malam, semua kegiatannya dilalui dengan bergerak, baik bolak-balik, be rjingkrak, berlari maupun melompat. Dalam kaitan ini, anak bukanlah miniatur orang dewasa karena mereka melakukan aktivitas berdasarkan kematangan dan kemampuan yang sesuai usianya.
2. Perkembangan Kognitif
Istilah kognitif (cognitive) berasal dari kata cognition atau knowing berarti konsep luas dan inklusi yang mengacu pada kegiatan mental yang tampak dalam pemerolehan, organisasi/penataan dan penggunaan pengetahuan (Paul Henry Mussen, dkk., Perkembangn dan Kepribadian Anak, Terjemahan F.X. Budiyanto, Gianto Widianto, Arum Gayatri, Arcan, 1994, h. 225).
Dalam arti yang luas, kognitif merupakan ranah kejiwaan yang berpusat di otak dan berhubungan dengan konasi (kehendak), afeksi (perasaan). Proses perkembangan kognitif ini dimulai sejak lahir. Namun, campur tangan sel-sel otak dimulai setel ah seorang bayi berusia 5 bulan saat kemampuan sensorisnya benar-benar tampak.
Ada 2 teori utama perkembangan kognitif, yakni: teori pembelajaran dan teori perkembangan kognitif (Paul Henry Mussen, dkk., Perkembangn dan Kepribadian Anak, h. 117)
Konsep utama dari teori pembelajaran adalah pelaziman, digunakan untuk memahami bayi. Ada dua bentuk pelaziman, pertama , pelaziman klasik berlangsung ketika suatu stimulus yang semula netral, seperti bunyi bel yang muncul bersamaan sengan stimulus tidak bersyarat seperti susu yang mengalir dari dot ke dalam mulut si anak sehingga si anak akan terbiasa, jika bunyi bel berulangkali dihubungkan dengan pengalaman mendapatkan susu dari dot, maka bayi akan mulai mengisap begitu ia mendengar bunyi bel. Kedua, pelaziman instrumental, seperti bila bayi ters enyum di saat ayah menggelitik perut-nya, lalu bayi tersenyum kembali, maka pelaziman ini mungkin sedang berlangsung.
Sementara jika mengacu pada teori yang dikemukakan Peaget, seorang pakar psikologi kognitif dan psikologi anak, dapat disimpulkan 4 tahap perkembangan kognitif , yaitu:
- Tahap sensori motor, terjadi pada usia 0-2 tahun
- Tahap pra operasional, terjadi pada usia 2-7 tahun
- Tahap konkrit operasional, terjadi pada usia 7-11 tahun
- Tahap formal operasional, terjadi pada usia 11-15 tahun
(Paul Henry Mussen, dkk., Perkembangan dan Kepribadian Anak, h. 233).
Khusus untuk anak usia dini, tahapan perkembangan yang paling bisa dilihat adalah tahap 1 dan 2. Terdapat dua bekal kapasitas yang dibawa bayi sejak lahir.
Pertama, bekal kapasitas jasmani yang ditunj ukkan dengan dua gerakan refleks, yakni: grasp reflex berupa gerakan otomatis untuk menggenggam; dan rooting reflex berupa gerakan kepala dan mulut yang terjadi secara otomatis jika setiap kali pipinya disentuh, kepalanya akan berbalik atau bergerak ke arah datangnya rangsangan lalu mulutnya terbuka dan terus mencari hingga ketemu puting susu ibu atau puting susu dot untuknya (Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosda, 2004, h. 61)
Lalu, gerakan refleks ini terjadi pada usia 0 s/d 5 bulan serta belum memerlukan ranah kognitif sebab sel-sel otaknya be lum berfungsi matang sebagai alat pengendali.
Kedua, bekal kapasitas sensori berlaku bersamaan dengan berlakunya refleks-refleks motor tadi bahkan kadang lebih baik. Hal ini terbukti dengan adanya kemampuan pengaturan nafas, penyedotan dan tanda-tanda respons terhadap stimulus. Juga adanya kemampuan mereka untuk membedakan suara keras dan kasar dengan suara lembut ibunya dari pada ayahnya dan orang lain.
Dengan demikian, tahap sensori motor yang berlangsung pada usia 0-2 tahun merupakan bagian dari perkembangan kognitif yang tampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Anak membentuk representasi mental, dapat meniru tindakan masa lalu orang lain, dan merancang sarana baru untuk memecahkan masalah dengan menggabungkan secara mental skema dengan pengetahuan yang diperolehnya. Inteligensi anak masih bersifat primitif yakni didasarkan pada perilaku terbuka (tindakan konkret dan bukan imajiner atau yang hanya dibayangkan saja). Hal ini amat pe nting karena menjadi fondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang ak an dimiliki anak kelak. Lalu, pada usia 18-24 bulan muncul kemampuan untuk mengenal objek permanen atau telah menjadi cakap dalam berpikir simbolik (F.J. Monks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: UGM Press, 1992, h. 212).
Sedangkan usia 2-7 tahun, si anak berada dalam periode perkembangan kognitif pra-operasional yakni usia di mana penguasaan sempurna akan objek permanen dimiliki. Artinya, si anak memiliki kesadaran akan eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada. Juga mengembangkan peniruan yang tertunda seperti ketika ia melihat perilaku orang lain seperti saat orang merespons barang, orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi pada masa lalu (Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosda, 2004, h. 70).
Di samping itu juga anak mulai mampu memahami sebuah keadaan yang mengandung masalah, setelah berpikir sesaat, lalu menemukan reaksi ‘aha’ yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak. Akan tetapi, si anak belum bisa memahami jika terjadi perbedaan pandangan dengan orang lain.
3. Perkembangan Sosio Emosional
Karakteristik perkembangan anak usia dini dalam hal ini dapat dilihat berdasarkan 3 tipe temperamen anak menurut para psikolog, yakni:
- Anak yang mudah diatur, mudah beradaptasi dengan pengalaman baru, senang bermain dengan mainan baru, tidur dan makan secara teratur dan dapat meyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya.
- Anak yang sulit diatur seperti sering menolak rutinitas sehari-hari, sering menangis, butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dan gelisah saat tidur.
- Anak yang membutuhkan waktu pemanasan yang lama, umumnya terlihat agak malas dan pasif, jarang berpartisipasi secara aktif dan seringkali menunggu semua hal diserahkan kepadanya (Ariavita Purnamasari, Kamus Perkembangan Bayi & Balita, Jakarta: Erlangga, 2005, h. 110).
Sedangkan saat usia 1,5-2 tahun, ia mulai berinteraksi dengan orang lain, tetapi butuh waktu untuk bersosialisasi, ia masih sulit berbagi dengan orang lain, sehingga ia akan menangis bila berpisah dengan orang tuanya meski hanya sesaat.
Sedangkan untuk usia 2,5-6 tahun, perkembangan emosi mereka sangat kuat seperti ledakan amarah , ketakutan yang hebat, iri hati yang tidak masuk akal karena ingin memiliki barang orang lain dan biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga yang besar. Demikian pula denga rasa cemburu muncul karena kurangnya perhatian yang diterima dibanding dengan yang lainnya, dan terjadi dalam keluarga yang kecil. Terjadi sebagai akibat dari lamanya bermain, tidak mau tidur siang dan makan terlalu sedikit (Elizabet B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, h. 116).
Secara jelas kognisi sosial seorang anak yang berumur 0-1 tahun adalah tumbuhnya perasaan sebagai seorang pribadi sehingga lebih menyukai orang yang familiar (obyek ikatan emosinya). Sedangkan usia 1-2 tahun yakni tumbuh pengenalan sosi al dengan mengenali perilaku yang disengaja. Lalu untuk usia 3-5 tahun, muncul pemahaman perbedaan antara kepercayaan dan keinginan seorang anak yakni persahabatan yang didasarkan pada aktivitas bersama. Lalu, ketika anak berusia 6-10 tahun, persahabatan yang terbangun lebih pada kesamaan fisik dan adanya kepercayaan secara timbal balik (Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Rajawali Press, 2006, h. 199).
4. Perkembangan Bahasa
Kemampuan setiap orang dalam berbahasa berbeda-beda. Ada yang berkualitas baik dan ada yang rendah. Perkembangan ini mulai sejak awal kehidupan. Sampai anak berusia 5 bulan (0-1 tahun), seorang anak akan mengoceh seperti orang yang sedang berbicara dengan rangkaian suara yang teratur, walaupun suara dikeluar kan ketika berusia 2 bulan. Di sini terjadi penerimaan percakapan dan di skriminasi suara percakapan. Ocehan dimulai untuk menyusun dasar bahasa (Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Rajawali Press, 2006, h. 226).
Lalu pada usia satu tahun si anak dapat menyebut 1 kata atau periode holoprastik. Kemudian usia 18-24 bulan, anak mengalami percepatan perbendaharaan kata dengan memp roduksi kalimat dua atau tiga kata disebut periode telegrafik se bab menghilangkan tanda atau bagian kecil tata bahasa dan mengabaikan kata yang kurang penting.
Selanjutnya pada usia 2,5-5 tahun, pengucapan kata meningkat. Bahasa anak mirip orang dewasa. Anak mulai memproduksi ujaran yang lebih panjang, kadang secara gramatik, kadang tidak. Lalu, pada usia 6 tahun ke atas, anak mengucapkan kata seperti orang dewasa. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya anak berbicara, antara lain:
- Intelegensi, semakin cerdas anak semakin cepat keterampilan bicara-nya.
- Jenis disiplin, disiplin yang rendah membuat cenderung cepat bicara dibanding dengan anak yang orang tuanya bersikap keras dan berpandangan bahwa anak harus dilihat, tetapi tidak didengar.
- Posisi urutan, anak sulung didorong lebih banyak bicara dari pada adiknya.
- Besarnya keluarga, anak tunggal dido rong lebih banyak bicara diban-ding anak-anak dari keluarga besar sebab orang tua lebih banyak waktu untuk berbicara dengannya.
- Status sosial ekonomi, dalam keuarga kelas rendah kegiatannya cenderung kurang terorganisasi dari pada kelas menengah dan atas.
- Status ras, mutu dan keterampilan berbicara yang kurang baik pada kebanyakan anak berkulit hitam sebab ayahnya tidak ada atau sebab keluarga tidak teratur sebab bany ak anak dan ibu bekerja di luar.
- Berbahasa dua
- Penggolongan peran seks, misalnya laki-laki dituntut untuk sedikit bicara dari pada perempuan.
Dengan demikian karakteristik perkembangan anak usia dini penting diketahui sebagai bentuk kepedulian pada perkembangan anak yang membutuhkan perhatian ekstra dari orang dewasa di sekitarnya, sehingga akan tumbuh anak-anak yang memang diharapkan. Baca pula: 4 Kompetensi Guru Taman Kanak-Kanak.